Minggu, 14 Juli 2013

KONSEP LETERLJIK

Pertama kali yang perlu dikatakan adalah bahwa pandangan keagamaan yang formalistis telah terlalu mendomonir pola pemahaman umat tentang "islam" selama ini. Cukup banyak indikasi yang menegaskan agama lebih dihayati sebagai identitas formal yang harus dicantumkan". (Kutipan tesis Masdar Farid Mas'ud dalam Agama Keadilan; Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hal. 10) 

Histori a-Formalistis
Masih dalam masa itu, dengan argumen yang habis-habisan, dalam tesis di kitabnya ihya ulumuddin, Hujjatul Islam Al-Ghozali berusaha dengan keras memberikan tradisi baru kepada orang-orang bahwa ada pembahasan menembus tradisi kulit atas isi (tradisi-tradisi syara' yang formalistis) dan menegaskan adanya korelasi fungsional antara amaliyah keagamaan dengan mutu akhlak pelakunya.


Diawalai sekitar abad ke-3 H. (abad ke-9 M.), baik awam maupun kaum elite-nya, islam, pada waktu itu, cenderung tidak lagi mengesahkan se-tiap upaya re-elaborasi ajaran-ajaran kegamaan yang diimani. Tugas umat pada waktu itu hanya dekodifikasi dan penghafalan sebisanya, dan diatas semua itu adalah mengamalkan menu-rut sistematika dan konsepsi-konsepsi pandahulunya yang lolos kualifikasi tertentu yang, konon, tak mampu dicapai hingga orang-orang masa se-karang.

Maksud dari praktek ini adalah agar islam, agama yang kita anut, masih te-tap murni dan bersih, tetap pada asas-nya, konsisten, dan tidak berubah dari aslinya. Dengan fakta yang sedemikian, beginilah miniatur umat pada waktu lam-pau; ketika harus mengikuti hasil elaborasi pendahulu dengan kepasrahan dan keta-atan yang nyaris tak bertepi. Selama 12 abad lebih, kurang lebihnya.

Bukannya hal ini tak ada yang me-reflek. Masih dalam masa itu, dengan argumen yang habis-habisan, dalam tesis di kitabnya ihya ulumuddin, Hujjatul Islam Al-Ghozali berusaha dengan keras memberikan tradisi baru kepada orang-orang bahwa ada pembahasan menembus tradisi kulit atas isi (tradisi-tradisi syara' yang formalistis) dan menegaskan adanya korelasi fungsional antara amaliyah keagamaan dengan mutu akhlak pelakunya. Dari latar belakang kian maraknya penerjemahan ilmu logika dan literatur Yunani waktu itu ke dalam khazanah islam, imam Al-Ghozali secara filosifis memberi sumbangsih lewat nalar epitemik agama.

Disusul di permulaan abad ke-20, gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh pioner pem-baharu terkenal dan cendekiawan asal Mesir Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H./1905 M.) dengan paham puritan-nya. Gerakan yang secara teologis memberikan angin segar bagi penggiat "berfikir" lewat pembaruan dalam bidang pemi-kiran islam (Islamic Thought) atas landasan kera-ngka keimanan puritanistik ala Wahabi.
Akan tetapi berbeda dengan para pen-dahulunya, Syekh Abduh mengambil langkah yang lebih strategis dan konkrit dengan me-nerapkan pemurnian pada bidang pendidikan. Maksud wacana ini adalah untuk menghilangkan kemandekan umat dalam memahami agamanya, yang selama berabad-abad tetap jumud karena praktek yang berlebihan lewat reinterpretasi dan dekodifikasi karangan ulama klasik dengan patuh yang menimbulkan efek involusi, dan ekspansi yang notabene kedua-duanya adalah negasi bagi islam. Akal perlu digunakan fungsinya secara le-bih, disamping kelemahannya agar tunduk ke-pada nash secara kritis dan selektif.

Lantas diikuti gerakan islamisasi pengetahuan yang disiarkan oleh Ismail Raji Al-farugi dari International Institute of Islamic Thought di Amerika Serikat menjelang 1980-an, mencapai momennya bagi kalangan intelektual dari kaum sarjana muslim. Inti dari pemahamam ini tidak lain agar umat tidak terlalu terlena dengan pengetahuan dan dengan sukarela meng-embalikannya pada sumber pusat ajaran; tauhid. Meminjam istilah keren-nya, gerakan ini adalah hubungan dialek untuk mengembalikan konteks ke teks (baca: Quran dan Sunna).

Ada yang perlu dicamkan dalam paradigma berfikir tiap orang agar tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga konsekuensi logis dari pandangan tersebut adalah; definisi kebenaran terbias oleh pengaruh kemajuan-kemajuan yang disak-sikannya.

Konsep semacam ini bukan tak memunculkan kritik dan argumen tandingan. Retorika yang dipakai adalah kebudayaan masih-lah tergolong mua-malah yang dimana "semua boleh sela-ma tidak ada nash yang melarang" juga masih bisa dima-sukkan. Masalahnya, pengetahuan juga ke-budayaan. Hanya ketika pengetahuan terlalu ge-tol dija-dikan blue-print dan melampaui batas-batasnya maka le-paslah dirinya dari muamalah. Jadi, bu-kan ilmunya yang perlu di-islamkan, akan tetapi niat ilmuwannya sendiri yang perlu di-islamisasikan.

Lalu di susul rekomendasi dari kaum intelektual muslim yang lain agar perlu dicanangkan kontektualisasi lewat jargon islam kontekstual oleh Munawir Sjadzali yang ketika itu masih menjabat sebagai menteri agama RI.Wawasan ini menerangkan adanya demistifikasi atas agenda mistik kenyataan yang semula dipahami sebagai hilangnya konteks sebagai kenyataan. Agama kehilangan kontaknya dengan kenyataan, realita, fakta empiriknya, dengan aktualitas, dan dengan kehidupan. Jadi, waktu itu adalah antitesis bagi ideologi umat yang jauh-jauh abad telah dicekoki doktrin bahwa; dengan keunggulan apriori Allah yang terjamin, islam, dengan tema-tema for-malistis-normativenya akan mengatasi ketim-pangan yang ada di tataran empiriknya dengan kemampuannya sendiri. Tidak mungkin Tuhan memproklamirkan islam sebagai agama palilng unggul tanpa disertai pembuktian nyata atas ke-unggulannya. Inilah gerakan fatalis ala Jabariyah.

Kebenaran dan Kemajuan
Ada yang perlu dicamkan dalam paradigma berfikir tiap orang agar tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga konsekuensi logis dari pandangan tersebut adalah; defi-nisi kebenaran ter-bias oleh pengaruh kema-juan-kemajuan yang disak-sikannya.

Kuntowijoyo benar, bahwa kemajuan itu cumulative (bertam-bah) dan kebenaran adalah non-cumulative (tak dapat bertam-bah). Agama, filsafat, dan kesenian termasuk kategori ko-nstan, tak dapat bertambah. Oleh karenanya di sepan-jang zaman masyara-kat masih dapat me-nerima kebijaksanaan Nabi Isa as., filsafat politik Jean Jacques Ros-seau, atau bahkan musik Beethoven, akan tetapi belum tentu masih menerima teori Newton, atau konsep kedokteran ala Ibn Sina (aveseen).

Mungkin juga, banyak orang islam sendiri yang masih kelimpungan dan sangsi tentang ke-mungkinan teks islam yang berasal dari abad ke-7 ini sanggup menjadi ilmu moderen atau metodologi epistemik yang menjadi paradigma alternatif ketika bias-bias pragmatik mendominasi dan terlihat belangnya. Sehingga, dari catatan sejarah muncul perdebatan antara kaum intelektualis (baca: ulama) yang memunculkan juga paradigma-paradigma yang bervarian. Untuk itulah, perlu penjelasan definitif akan tema yang secara yakin menunjukkan bahwa Islam yang otentik memang benar-benar mempunyai dan mampu berfungsi structuring, baik sebagai agama maupun sebagai ilmu.

Modal utamanya adalah menjadikan Islam sebagai paradigma. Disini, sependapat dengan Kuntowijoyo, penulis menerjemahkan "para-digma" sebagaimana Thomas Khun mema-haminya: bahwa realitas sosial itu dikons-truksikan oleh mode of thought or mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan me-lahirkan mode of knowing tertentu pula. (mode of knowing, atau cara mengetahui, red.). Karl Marx menyebutnya sebagai tema ideologi. Im-manuel Khan menyebutnya sebagai skema konseptual. Dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.

Quran sendiri memang banyak melahirkan konsep-konsep ideal tentang berbagai hal dan Sunna menjadi penjelasnya secara apriorik, jika, kita melihat nash tersebut secara lebih. Ketika banyak amstal yang dimaktubkan Quran, dan penjelasan-penjelasan historik oleh ceritera Rasul dalam sunnahnya, bukan cerita tersebut yang semata kita lihat, akan tetapi lebih dari itu. Bukan bukti objektif-empiriknya yang penting, tapita'wil subyektif-normatifnya yang perlu ditonjolkan. Lewat semua ini kita diperkenalkan ideal-type tentang konsep-konsep, dan mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal.
Bahkan lebih dari itu, nash mampu menjadi subyek di tataran Objektif. (nah, masuk ke dalam pembahasan islam sebagai ilmu). Lewat integrasi ilmu sekuler dan non-sekuler, kesemua konsep dalam nash yang terbilang normative, akan se-cara semantik yang unik mengkaitannya dengan matrik struktur normative dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan nash dipahami. Maka, sedikit banyak kita akan memahami konteks dan permasalahan empirik sebagaimana nash mema-haminya. Inilah weltanschaung islam. Karena seharusnya umat memandang kebenaran lewat wahyu; Tuhan. Karena ada tuntunan untuk men-jadi orang islam yang menyeluruh (QS. Al-ba-qoroh: 208) dan otentik (QS. Maryam: 36) yang berfikir, akan tetapi memahami betul mana yang ta'abbudi dan mana yang ma'qul.

Mungkin benar apa yang dipaparkan ulama kontemporer yang mengatakan bahwa Sunna yang kita jalankan selama ini bisa saja bukan sunna, akan tetapi hadisnya. Hal ini merujuk pengertian sunna yang dipahami sebagai ruh, maksud, dan jiwa ucapan rasul yang mempunyai konteks yang terbatas dan temporer (isi dari hadist [kulit]). Maksud penulis, perlu definisi yang jelas ketika memaknai hadist dan sunna. Karena, jika ketika adalah riwayat formal dan verbal, tentang apa yang diucapkan, dilakukan, dan di-takrirkan Nabi, maka, Sunna sekaligus adalah spirit dan substansi yang ada di balik “ucapan, tindakan atau takrir Nabi” yang disebut dengan hadist tadi.

Terkat hal di atas semua tadi, masalah ketimpangan dan stagnansi umat akan terhindari. Dengan asumsi, apa yang telah beliau Rasul lakukan adalah dipandang dengan perspektif refleksi dari tangkapan beliau terhadap waktu, tempat, situasi dimana beiau berada. Dan, pe-maknaan nash yang turun di masa lampau agar dimaknai lebih dinamis.

Syahdan, konsep perjuangan agama sebagai respon positif terhadap kenyataan yang ada tidak hanya akan dipahami lebih sebagai perjuangan membangun verbalisme dan formalisme ajaran, ketimbang sebagai upaya kolektif untuk mela-kukan perubahan tatanan sosial secara sistematis dan terencana secara kreatif dan pandai.

Nah, sampai sekarang, pemimpin yang mampu meng-cover keadaan yang demikianlah yang pe-nulis idam-idamkan sebagai imam umat secara umum.



wallahu a'lam. Waakhiru da'wana anil hamdu lillahi rabbil 'alamin

(Ahmad Romli, Mutakharijin)

0 komentar:

Posting Komentar