Kamis, 18 Juli 2013

KISAH DI PERTENGAHAN NOVEMBER

Sebagai perempuan, sebetulnya umur 30 tahun belum terbilang tua benar. Tapi neng Izzah tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai perawan tua, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama umi'nya, juga begitu, seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya. Hampir di setiap kesempatan umi'nya selalu menanyainya apakah sudah ada santri- santri yang nglirik-nglirik kepadanya atau belum. Izzah  selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum tanpa makna.

Jangan salah sangka, Tampang  Izzah tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Izzah terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Hafidloh, pinter, perawakannya kalem kurang apa dia ?

“Terus teranglah, Zah. Sebenarnya diantara sekian banyak kang santri siapa sih yang kau idamkan?” tanya Romlah menggoda, saat mereka berkumpul di kamar pondok bagian pengurus, memang biasanya neng Izzah sering ngumpul dengan mbak-mbak santriwati untuk sekedar guyonan atau kadang-kadang juga sema'an al-Qur'an, “Kalau tahu maumu? kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi.” tukas mbak Zaenab salah satu pengurus yang paling disegani diantara pengurus yang lain.

“Iya, Zah,” timpal Siti, “kalau kau cari yang tampan, salah satu pengurus putra kan ada yang jadi idola di sini, kamu tinggal bilang abahmu to .........!. apa mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zah.”

“Mungkin kamu cari laki-laki yang bisa baca kitab kuning ya, Zah?!” celetuk mahmudah sambil senyum ngledek. “Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, ustadz Ahmad, itu lho ustadz yang mengajar fikih waktu kita masih Diniyyah. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri dan tau santri mana yang pinter ngaji kitab kuning.

“Apa ada kang-kang santri yang berani nglamar atau minang kamu?, kamu kan anak kyai, lagi pula kang-kang yang mondok di sini umurnya kan dibawah 30 tahun-nan, tambah mbak Amanah pengurus bagian keamanan.

“Tenang saja, Zah!” ujar sofiyah, “kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja sama abahmu.”

“Jangan-jangan kamu naksir anaknya pak Pardi ya Zah,? Itu lho tetangga sebelah pondok, walaupun anak petani biasa, tapi dia tampan kok; sarjana lagi?” tiba-tiba Ubaidah yang tinggal beberapa bulan lagi akan menikah itu meledek. Izzah mencubit perut Ubaidah, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum malu.

“ya tidak kafa'ah to ya, masak anak kyai dapat orang biasa” celetuk Lathifah yang tiba-tiba ikut nimbrung sehabis mandi. “muka manis, hafal al-Qur'an, kalem, putri kyai kok dapat yang biasa? kalau kamu mau bilang abahmu pasti langsung dicarikan"

“Jawab dong, Zah!” kata mbak Umaroh yang muncul sambil membawa ketela goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Izzah yang tak berkutik dikerubuti kawan-kawannya.

“Biar saja, Mbak,” jawab Izzah pendek tanpa nada kesal. “Kalau capek kan berhenti sendiri.”

Memang Izzah orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin, anak tuggal pasangan kyai Romli dan Nyai Khoiroh itu tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering –sampai bosan– Izzah menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku “Hikam”-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandary sebuah ungkapan yang menarik, “Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hatimu.”

Setiap teringat ungkapan itu, Izzah merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Kadang-kadang ia berfikir kalau jodoh memang sudah di tentukan Allah, mengapa setiap malam dia selalu berdo'a agar cepat dikasih jodoh. kadang-kadang dia sampai menangis, hingga matanya lembam. Seharusnya dia kan cukup hanya beribadah, mendekatkan diri pada-Nya pasti nanti Allah memberi yang terbaik.

***
Syahdan, pada suatu hari, ketika neng Izzah berkumpul dengan mbak-mbak di kamar pengurus putri seperti biasanya, mbak Romlah tiba-tiba bercerita panjang lebar tentang seorang  laki-laki "wah, wah, wah, aku baru ketemu Malaikat, lirikannya itu lho, masyaallah,,,,,,,,,,,,! Badannya tinggi tegap kulitnya kuning langsat, pengajiannya begitu enak didengar". Romlah bercerita dengan begitu semangat setelah menghadiri acara Muslimatan di desa sebelah, memang ia sering menjadi perwakilan pondok untuk manghadiri acara-acara yang ada di daerah itu. "Kamu melihat ustadz itu dimana Rom?" Dengan penuh penasaran Ubaiadah bertanya; "itu lho di desa sebelah yang biasa mengadakan  pengajian muslimatan tiap jum'at kliwon" jawab Romlah dengan nada yang tidak kalah seru.

“Meskipun aku belum tau benar,  tambah Romlah; orang-orang memanggilnya Uatadz Masykur, Orangnya kalem. Kadang-kadang ngaji dengan memakai jubah. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Setiap beliau diundang untuk mengisi pengajian, yang datang tidak hanya dari daerah sini saja lho! bahkan kadang-kadang sebagian orang datang dari luar kota hanya nutuk mendengarkan tausyiyah beliau.

Pendek kata, menurut Romlah, ustadz Masykur ini memang lain dari pada yang lain. Dibanding da'i-da'i yang pernah ia temui, ustadz yang satu ini tremasuk yang paling bisa memikat hati para cewek-cewek temasuk dirinya.

“Nah, kalau kalian berminat,” kata Romlah akhirnya, “aku siap mengantar.”

Kelihatannya dua minggu lagi Ustadz Masykur mendapatkan undangan untuk mengisi pengajian di desa sumingit, itu lho desa sebelah yang akan mengadakan sedekah bumi. Dengan penuh semangat, Romlah meyakinkan teman-tenmannya.

“Wah, ide bagus ini,” sahut lathifah sambil merangkul neng Izzah. “Kita bisa menimba ilmu sekaligus membuktikan perkataan romlah tadi. Siapa tahu salah satu dari kita ada yang dilirik-lirik, he,he,he,he.......?

“Setujuuu!” sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya neng Izzah yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecil. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Izzah yang tahu. Tapi ketika waktu dan hari pengajiannya telah tiba, Izzah lari-lari kecil menuju kamar pengurus putri. "Mbak-mbak" Teriak Izzah sambil memebuka pintu kamar. Ada apa Neng........?  tanya Sofiah yang sedang deres alfiah di pojok kamar, tolong bilang sama mbak Romlah aku tidak bisa ikut menghadiri pengajian, tiba-tiba aku diajak Abah pergi ke Solo untuk menjenguk bulek yang sedang kritis, jawab Izzah. Baik neng, nanti saya sampaikan.

 Begitulah. Pagi-pagi sekitar jam 08.30 pada hari jum'at, dipimpin mbak Romlah, mereka beramai-ramai mengunjungi pengajian. Ternyata benar seperti cerita Mbak Romlah, pengunjungnya memang luar biasa banyaknya. Pekarangan Masjid yang luas, penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Masjid yang begitu besar penuh sesak diisi oleh pengunjung.

Ternyata juga benar seperti cerita Mbak Romlah, Ustadz Masykur memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Romlah dan kawan-kawan, menanti bagaimana Ustadz yang satu ini menyampaikan tausyiyahnya, kali ini Ustad Masykur memakai jubah hijau muda, kelihatan begitu gagah, tapi sifat santunnya masih melekat, tutur bahasanya begitu runtut dan mudah di cerna. Hadirin yang datang terbius oleh isi pengajian yang begitu menyentuh, tak terkecuali Romlah dan kawan-kawan.
Tepatnya tanggal 15 November neng Izzah dan keluarga baru datang dari Solo, kali ini ada yang aneh pada diri Izzah, biasanya setiap habis bepergian jauh, Izzah langsung lari-lari menuju pondok untuk bercerita pengalaman-pengalamannya kepada Romlah dan kawan-kawan. Namun, sehabis datang dari solo hingga kini dia tidak keluar, apalagi ke pondok, keluar kamar aja tidak. Umaroh yang sedang sedang dapat piket membersihkan ndalem agak heran juga melihat nengnya yang satu ini agak berubah. Karena khawatir dengan keadaan neng Izzah, Umarohpun memberanikan diri untuk melihat keadaan putri kyai itu, Tok, tok, tok,  neng.....? suara yang tidak asing ditelinga Izzah, masuk Um,,kamarnya tidak dikunci,sahut izzah.

Tanpa berpikir lama Umaroh pun masuk,"Neng ada apa sih, kok tumben tidak mau bagi-bagi cerita", hibur umaroh dengan suaranya yang kalem. Mbak-mbak sudah nungguin ceritanya neng lho. Izzah masih saja terdiam dengan tatapan matanya yang kosong seperti orang kesurupan,  tak lama kemudian Izzah bercerita. Um,,,,,! Kemarin sewaktu aku di solo, abah mampir di rumah temannya, teman waktu mondok di Jawa Timur, beliau juga pengasuh pondok, bahkan pondoknya lebih besar dari pada pondok sini, namanya kyai Abdul Kholiq. Disitu setelah ngobrol ngalor-ngidul, mereka berdua memebicarakan masalah serius yang intinya aku mau dijodohkan dengan putra kyai kholiq itu, sekarang aku bingung harus sedih atau senang, orangnya saja aku belum pernah lihat, Cuma kemarin aku ditunjukkan fotonya yang terpasang di ruang tamu.

"Nak....itu lho foto anak saya namanya Kafa, foto itu diambil ketika dia wisuda di Madinah beberapa tahun yang lalu" kata kyai kholiq dengan penuh karisma. Aku mengangguk asal mengangguk, tanpa berani mengangkat mataku kearah foto itu. Orangnya ganteng apa tidak neng,,,? Suara Umaroh tiba-tiba memotong cerita Izzah. "Kan aku sudah bilang aku tidak melihat fotonya, lagi pula foto itu kan diambil beberapa tahun yang lalu kalau sekarang pasti sudah berubah tow", jawab Izzah dengan nada agak kesal.

Lha terus keputusan sampeyan bagaimana neng.........? tanya Umaroh dengan nada penasaran.
Kata abah, dua hari lagi keluarga pak yai kholiq mau datang kesini sekalian ngajak putranya, di hari itulah aku membuat keputusan, dan kalau mbak Um pengen lihat orangnya kayak apa, tunggu saja waktu itu tiba.

Hari-hari berjalan seperti biasanya, tapi tidak bagi Izzah, baginya waktu dua hari terasa begitu lama, mungkin karena dalam hatinya ada perasaan yang tidak biasa.

Pagi itu matahari bersinar sejuk, spoi-spoi angin sedikit demi sedikit menyeret awan kearah utara hingga berkumpul diatas Gunung Kelud. Suasana pondokpun masih agak ramai ada yang sedang jadwal piket, ada yang sedang mandi, ada yang nyuci dan lain sebagainya.

Dari arah barat terlihat mobil sedan berwarna blcak metalic dengan plat luar kota menuju parkiran yang kebetulan letaknya pas di depan kamar pengurus putri.

Subhanallah....teman-teman cepat kesini, kata Romlah yang dari tadi nglamun di balik jendela. "Ada apa mbak...? sahut latifah sambil menuju ke arah jendela dan di ikuti mbak-mbak yang lain. Bukannya yang keluar dari mobil itu Ustadz Masykur....? tanya Romlah dengan nada tidak pecaya, "bener mbak itu Ustadz Masykur, jawab Ubaidah mencoba meyakinkan.

Tidak lama kemudian rombongan pak yai Kholiq dengan di ikuti putranya Gus Kaffa masykurllah berjalan menuju ndalem kyai Romli untuk megadakan khithbah secara resmi.

Setelah kejadian itu neng Izzah tidak pernah tampak batang hidungnya, dia seperti gadis pingitan yang tidak boleh kemana-mana.

Terahir neng Izzah mengirimkan selembar tulisan untuk segenap sahabatnya di bagian pengurus pondok putri.

sebenarnya
Dalam garis waktuku
Aku tak ingin seorangpun tau
Tidak juga dia
Tentang aku, cinta, dan hidupku.


0 komentar:

Posting Komentar