Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah teruji sepanjang massa yang
mempunyai karakteristik yang unik, terakhir ini telah memikat para peneliti untuk
melihat berbagai aspek didalamnya.Sebagai sub cultur kemasyarakatan dan
sekaligus laboratorium social masyarakat, karena ikut andil dalam transpormasi
social.Karena watak pendidikannya yang populis santri mampu berinteraksi dengan
dunia internal dan eksternal pesantren.Banyaknya peneliti yang mengungkap
fenomena pesantren dari yang anarkisme hingga yang terorisme yang
cenderung tidak obyektf, karena pesantren hanya berperan sebagai maf'ul
(obyek teliti), maka harapanya ada peran aktif dan langkah dari dalam untuk
merubah fenomena tersebut.Sebagai lembaga pendidikan Indonesia tertua yang juga
wujud budaya asli bangsa ini (indigenous).Dilembaga pesantren inilah
masyartakat muslim indonesia menerima doktrin dasar Islam yang terkait praktek
keagamaan yang paling mendasar bagi pemeluk islam pemula.Yang pada masa
awalnya, sebagai pemangku dan pendiri pesantren, ulama' mengambil sikap yang
"non-kooperatif dan silent opposition " terhadap
kebijakan politik etis pemerintah colonial belanda maka mereka
mendirikannya di daerah yang jauh dari perkotaan untuk menghindari intervensi
colonial tersebut.Terlebih setelah dibukanya terisan suez pada tahun 1869
dimana pemuda Indonesia banyak pergi dan belajar di makkah dan pulang ke
Indonesia mengembangkan dan mendirikan pendidikan yang identik dengan pondok
pesantren.Dan perpaduan antara keinginan seseorang (murid) untuk menimba ilmu
keagamaan serta keikhlasan seorang guru untuk mengamalkan dan mengembangkan
ilmu ke Islaman adalah modal utama eksisnya dunia pesantren sepanjang zaman.
Kitab kuning
Sebagai warisan dan kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, pesantren
juga harus dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu
sendiri.Pesantren sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaanyang berdimensi
religius, tapi juga harus mampu menjadi motor transformasi komunitas masyarakat
dan bangsanya.Di Indonesia terkait dengan peran sertanya dalam masyarakat,
pesantren di identifikasi menjadi tiga fungsi, pertama sebagai pusat
berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu ke Islaman, kedua sebagai penjaga dan
pemelihara keberlangsungan islam, ketiga sebagai pusat produksi ulama'.Ketiga
inilah yang harus sekarang menjadi setting idea pesantren sebagai
lumbung agama Islam.Kitab kuning sebagai alat untuk mewujudkan setting idea perlu
harus dikaji dan digalakan di dunia pesantren saat ini dengan berbagai metode
dan cara.perlu introspeksi bahwa istilah kitab kuning pada awalnya
hanyalah pejorative (nada merendahkan dan menyakitkan) dari kalangan
eksternal pesantren karena sebagai simbol kitab yang memiliki kadar keilmuan
yang rendah, ketinggalan zaman dan murah, maka ada saja orang menyebutnya kitab
klasik, kitab gundul (karena tidak berkharokat) dan kitab kuno (al-khodimah
al- kutub).
Beberapa pengamat mendefinisikan beragam, pertama mengungkapkan
sebagai buku-buku tentang ilmu ke islaman yang dipelajari di pesantren ditulis
dengan bahasa arab serta dengan sistematika yang klasik (Muntaha Azhari), kedua
adalah kitab keagamaan berbahasa arab atau tertulis dengan huruf arab
sebagai produk pemikiran ulama' masa lampau (salaf) sebelum abad 17
(Afandi Muhtar), ketiga Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa kitab
kuning adalah kitab yang ditulis dengan kertas yang berwarna kuning yang dibawa
dari timur tengah pada awal abad ke 20, keempat Khozin Nasuha mengatakan
bahwa kitab kuning adalah kepustakaan dan pegangan para kyai di pesantren yang
merupakan kodifikasi ajaran islam.Sedang seorang kyai adalah personifikasi dari
nilai-nilai dalam ajaran islam tersebut.Murid dan santri menjalankan perannya sebagai
sub cultur masyarakat dengan mengikuti dan meniru kepribadian kyai sebagai
wujud implementasi dalam ajaran kitab kuning.Abdurrahman Wahid mengatakan
adanya tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren bertahan sebagai
sub cultur, pertama pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri
tidak terkooptasi oleh negara.kedua kitab-kitab rujukannya selalu dapat
digunakan sepanjang abad.Ketiga sistem nilai yang digunakan adalah
bagian dari masyarakat luas.Itu artinya pesantren sebagai islamic intelectual
basic tak bisa lepas dari kitab-kitab rujukan yang berstandart dunia
akherat yang dapat dieksploratif santri dalam mengupas berbagai permasalahan
yang ada di sekitarnya.
Pesantren Pengawal Kemurnian Ajaran Agama Islam Indonesia
Pesantren yang dengan unik melaksanakan kontruksi kepemimpinan kyai-ulama'
sescara langsung dan menggunakan pegangan klasik dikatakan sebagai kontinuitas
tradisi yang benar (right tradition) dengan memperhatikan ilmu-ilmu yang
dipegangi oleh shalafu sholeh dan bisa menjadi standart keilmuan
sepanjang masa.Seiringv perkembangan waktu dan zaman memunculkan banyaknya
permasalahan yang kompleks, baik urusan duniawi maupun keagamaa, sebenarnya
mampu dipecahkan dengan uraian kitab kuning karena masalahnya hampir serupa dan
uraian bahasa yang tidak sama.Pesatnya ilmu alam,social, budaya dan teknologi,keilmuan
kitab kuning nampaknya agak lamban berkembang yang sebenarnya keilmuannya
sangat tinggi, dasar-dasar materinya sangat lengkap, luwes dan mencakup seluruh
aspek kehidupan.Dengan demikian lambannya pemanfaatan keilmuan kitab
kuning bukan disebabkan oleh sistem nilai tetapi sistem sosial dan budaya yang
ada.Pada masa lalu kitab kuning dikaji secara massif dan konten pesantren,
namun sekarang pergeseran orientasi santri dan sistem budaya yang mendominasi
pemikirannya, mereka banyak meninggalkan sumber asli keilmuannya.Inilah yang
harus di fikirkan bersama dan mengembelikan santri pada posisi yang semestinya
yakni sebagai penerus ulama' dan pendakwah untuk kelestarian islam sepanjang
zaman.Budaya lisan agaknya sudah mentradisi sekarang ini, namun budaya membaca
belum membudaya.Dunia pesantren mulai kehilangan ruhnya untuk mengkaji segala
fenomena yang ada dan terjadi dalam kitab kuning, sebagai mana dilakukan para salafus
sholeh sehingga menjadi santri yang mumpuni dan berkualitas.Pada saat ini
mereka masih hanya sebatas mengaji dan belum melangkah pada tradisi mengkaji,
maka tak heran santri sekarang banyak tak mumpuni dan akrab dengan kitabnya
padahal kitab adalah senjata mereka.Oleh karena itu budaya lisan dan tulisan
serta membaca yang tersimpul dalam budaya mengaji dan mengkaji harus di
kembalikan pada dunia pesantren sehingga setting idea pesantren sebagai
islami intelectual basic dapat terwujud.
(Ustadz Rif'an, S.Ag)
0 komentar:
Posting Komentar