Sebagai perempuan, sebetulnya umur 30
tahun belum terbilang tua benar. Tapi neng Izzah tak tahu mengapa
kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai perawan tua, hanya karena dia belum
kawin. Orang tuanya sendiri, terutama umi'nya, juga begitu, seolah-olah bersekongkol
dengan kawan-kawannya. Hampir di setiap kesempatan umi'nya selalu menanyainya
apakah sudah ada santri- santri yang nglirik-nglirik kepadanya atau
belum. Izzah selalu menanggapi semua itu
hanya dengan senyum-senyum tanpa makna.
Jangan salah sangka, Tampang Izzah tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata
kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Izzah terbilang sangat manis. Apalagi
bila tersenyum. Hafidloh, pinter, perawakannya kalem kurang apa dia ?
“Terus teranglah, Zah. Sebenarnya diantara
sekian banyak kang santri siapa sih yang kau idamkan?” tanya Romlah menggoda,
saat mereka berkumpul di kamar pondok bagian pengurus, memang biasanya neng
Izzah sering ngumpul dengan mbak-mbak santriwati untuk sekedar guyonan atau
kadang-kadang juga sema'an al-Qur'an, “Kalau tahu maumu? kita kan bisa
membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi.” tukas mbak Zaenab salah
satu pengurus yang paling disegani diantara pengurus yang lain.
“Iya, Zah,” timpal Siti, “kalau kau cari
yang tampan, salah satu pengurus putra kan ada yang jadi idola di sini, kamu
tinggal bilang abahmu to .........!. apa mau kukenalkan? Jangan banyak
pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zah.”
“Mungkin kamu cari laki-laki yang bisa
baca kitab kuning ya, Zah?!” celetuk mahmudah sambil senyum ngledek. “Wah kalau
iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, ustadz Ahmad, itu lho ustadz yang
mengajar fikih waktu kita masih Diniyyah. Dia pasti mempunyai banyak kenalan
santri-santri dan tau santri mana yang pinter ngaji kitab kuning.
“Apa ada kang-kang santri yang berani
nglamar atau minang kamu?, kamu kan anak kyai, lagi pula kang-kang yang mondok
di sini umurnya kan dibawah 30 tahun-nan, tambah mbak Amanah pengurus bagian
keamanan.
“Tenang saja, Zah!” ujar sofiyah, “kalau
kau sudah berminat, tinggal bilang saja sama abahmu.”
“Jangan-jangan kamu naksir anaknya pak
Pardi ya Zah,? Itu lho tetangga sebelah pondok, walaupun anak petani biasa,
tapi dia tampan kok; sarjana lagi?” tiba-tiba Ubaidah yang tinggal beberapa
bulan lagi akan menikah itu meledek. Izzah mencubit perut Ubaidah, tapi tidak
mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum malu.
“ya tidak kafa'ah to ya, masak anak
kyai dapat orang biasa” celetuk Lathifah yang tiba-tiba ikut nimbrung sehabis
mandi. “muka manis, hafal al-Qur'an, kalem, putri kyai kok dapat yang biasa?
kalau kamu mau bilang abahmu pasti langsung dicarikan"
“Jawab dong, Zah!” kata mbak Umaroh yang
muncul sambil membawa ketela goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati
Izzah yang tak berkutik dikerubuti kawan-kawannya.
“Biar saja, Mbak,” jawab Izzah pendek
tanpa nada kesal. “Kalau capek kan berhenti sendiri.”
Memang Izzah orangnya baik. Setiap kali
diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin, anak tuggal pasangan kyai Romli
dan Nyai Khoiroh itu tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur
kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir
untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi
yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana
jangan disiar-siarkan. Sudah sering –sampai bosan– Izzah menyatakan
keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke
mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya
rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah
ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun
kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku “Hikam”-nya Syeikh
Ibn ’Athaillah As-Sakandary sebuah ungkapan yang menarik, “Kesungguhanmu dalam
memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam
hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hatimu.”
Setiap teringat ungkapan itu, Izzah merasa
seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Kadang-kadang ia
berfikir kalau jodoh memang sudah di tentukan Allah, mengapa setiap malam dia
selalu berdo'a agar cepat dikasih jodoh. kadang-kadang dia sampai menangis,
hingga matanya lembam. Seharusnya dia kan cukup hanya beribadah, mendekatkan
diri pada-Nya pasti nanti Allah memberi yang terbaik.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika neng Izzah berkumpul dengan mbak-mbak di kamar pengurus putri seperti biasanya, mbak Romlah tiba-tiba bercerita panjang lebar tentang seorang laki-laki "wah, wah, wah, aku baru ketemu Malaikat, lirikannya itu lho, masyaallah,,,,,,,,,,,,! Badannya tinggi tegap kulitnya kuning langsat, pengajiannya begitu enak didengar". Romlah bercerita dengan begitu semangat setelah menghadiri acara Muslimatan di desa sebelah, memang ia sering menjadi perwakilan pondok untuk manghadiri acara-acara yang ada di daerah itu. "Kamu melihat ustadz itu dimana Rom?" Dengan penuh penasaran Ubaiadah bertanya; "itu lho di desa sebelah yang biasa mengadakan pengajian muslimatan tiap jum'at kliwon" jawab Romlah dengan nada yang tidak kalah seru.
“Meskipun aku belum tau benar, tambah Romlah; orang-orang memanggilnya
Uatadz Masykur, Orangnya kalem. Kadang-kadang ngaji dengan memakai jubah.
Kadang-kadang dines pakai jas segala. Setiap beliau diundang untuk mengisi pengajian,
yang datang tidak hanya dari daerah sini saja lho! bahkan kadang-kadang
sebagian orang datang dari luar kota hanya nutuk mendengarkan tausyiyah beliau.
Pendek kata, menurut Romlah, ustadz
Masykur ini memang lain dari pada yang lain. Dibanding da'i-da'i yang pernah ia
temui, ustadz yang satu ini tremasuk yang paling bisa memikat hati para
cewek-cewek temasuk dirinya.
“Nah, kalau kalian berminat,” kata Romlah
akhirnya, “aku siap mengantar.”
Kelihatannya dua minggu lagi Ustadz
Masykur mendapatkan undangan untuk mengisi pengajian di desa sumingit, itu lho
desa sebelah yang akan mengadakan sedekah bumi. Dengan penuh semangat, Romlah
meyakinkan teman-tenmannya.
“Wah, ide bagus ini,” sahut lathifah
sambil merangkul neng Izzah. “Kita bisa menimba ilmu sekaligus membuktikan
perkataan romlah tadi. Siapa tahu salah satu dari kita ada yang dilirik-lirik,
he,he,he,he.......?
“Setujuuu!” sambut kawan-kawan yang lain
penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya
neng Izzah yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecil.
Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia
menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau
sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Izzah
yang tahu. Tapi ketika waktu dan hari pengajiannya telah tiba, Izzah lari-lari
kecil menuju kamar pengurus putri. "Mbak-mbak" Teriak Izzah sambil
memebuka pintu kamar. Ada apa Neng........?
tanya Sofiah yang sedang deres alfiah di pojok kamar, tolong bilang sama
mbak Romlah aku tidak bisa ikut menghadiri pengajian, tiba-tiba aku diajak Abah
pergi ke Solo untuk menjenguk bulek yang sedang kritis, jawab Izzah. Baik neng,
nanti saya sampaikan.
Begitulah. Pagi-pagi sekitar jam 08.30 pada
hari jum'at, dipimpin mbak Romlah, mereka beramai-ramai mengunjungi pengajian.
Ternyata benar seperti cerita Mbak Romlah, pengunjungnya memang luar biasa
banyaknya. Pekarangan Masjid yang luas, penuh dengan kendaraan. Dari berbagai
plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai
daerah. Masjid yang begitu besar penuh sesak diisi oleh pengunjung.
Ternyata juga benar seperti cerita Mbak
Romlah, Ustadz Masykur memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Romlah
dan kawan-kawan, menanti bagaimana Ustadz yang satu ini menyampaikan
tausyiyahnya, kali ini Ustad Masykur memakai jubah hijau muda, kelihatan begitu
gagah, tapi sifat santunnya masih melekat, tutur bahasanya begitu runtut dan
mudah di cerna. Hadirin yang datang terbius oleh isi pengajian yang begitu
menyentuh, tak terkecuali Romlah dan kawan-kawan.
Tepatnya tanggal 15 November
neng Izzah dan keluarga baru datang dari Solo, kali ini ada yang aneh pada diri
Izzah, biasanya setiap habis bepergian jauh, Izzah langsung lari-lari menuju
pondok untuk bercerita pengalaman-pengalamannya kepada Romlah dan kawan-kawan.
Namun, sehabis datang dari solo hingga kini dia tidak keluar, apalagi ke pondok,
keluar kamar aja tidak. Umaroh yang sedang sedang dapat piket membersihkan ndalem
agak heran juga melihat nengnya yang satu ini agak berubah. Karena khawatir
dengan keadaan neng Izzah, Umarohpun memberanikan diri untuk melihat keadaan
putri kyai itu, Tok, tok, tok,
neng.....? suara yang tidak asing ditelinga Izzah, masuk Um,,kamarnya
tidak dikunci,sahut izzah.
Tanpa berpikir lama Umaroh pun
masuk,"Neng ada apa sih, kok tumben tidak mau bagi-bagi cerita",
hibur umaroh dengan suaranya yang kalem. Mbak-mbak sudah nungguin ceritanya
neng lho. Izzah masih saja terdiam dengan tatapan matanya yang kosong seperti
orang kesurupan, tak lama
kemudian Izzah bercerita. Um,,,,,! Kemarin sewaktu aku di solo, abah mampir di
rumah temannya, teman waktu mondok di Jawa Timur, beliau juga pengasuh pondok,
bahkan pondoknya lebih besar dari pada pondok sini, namanya kyai Abdul Kholiq. Disitu
setelah ngobrol ngalor-ngidul, mereka berdua memebicarakan masalah serius yang
intinya aku mau dijodohkan dengan putra kyai kholiq itu, sekarang aku bingung
harus sedih atau senang, orangnya saja aku belum pernah lihat, Cuma kemarin aku
ditunjukkan fotonya yang terpasang di ruang tamu.
"Nak....itu lho foto anak
saya namanya Kafa, foto itu diambil ketika dia wisuda di Madinah beberapa tahun
yang lalu" kata kyai kholiq dengan penuh karisma. Aku mengangguk asal
mengangguk, tanpa berani mengangkat mataku kearah foto itu. Orangnya ganteng
apa tidak neng,,,? Suara Umaroh tiba-tiba memotong cerita Izzah. "Kan aku
sudah bilang aku tidak melihat fotonya, lagi pula foto itu kan diambil beberapa
tahun yang lalu kalau sekarang pasti sudah berubah tow", jawab Izzah
dengan nada agak kesal.
Lha terus keputusan sampeyan
bagaimana neng.........? tanya Umaroh dengan nada penasaran.
Kata abah, dua hari lagi
keluarga pak yai kholiq mau datang kesini sekalian ngajak putranya, di hari
itulah aku membuat keputusan, dan kalau mbak Um pengen lihat orangnya kayak
apa, tunggu saja waktu itu tiba.
Hari-hari berjalan seperti
biasanya, tapi tidak bagi Izzah, baginya waktu dua hari terasa begitu lama,
mungkin karena dalam hatinya ada perasaan yang tidak biasa.
Pagi itu matahari bersinar
sejuk, spoi-spoi angin sedikit demi sedikit menyeret awan kearah utara hingga
berkumpul diatas Gunung Kelud. Suasana pondokpun masih agak ramai ada yang
sedang jadwal piket, ada yang sedang mandi, ada yang nyuci dan lain sebagainya.
Dari arah barat terlihat mobil
sedan berwarna blcak metalic dengan plat luar kota menuju parkiran yang
kebetulan letaknya pas di depan kamar pengurus putri.
Subhanallah....teman-teman cepat
kesini, kata Romlah yang dari tadi nglamun di balik jendela. "Ada
apa mbak...? sahut latifah sambil menuju ke arah jendela dan di ikuti mbak-mbak
yang lain. Bukannya yang keluar dari mobil itu Ustadz Masykur....? tanya Romlah
dengan nada tidak pecaya, "bener mbak itu Ustadz Masykur, jawab Ubaidah
mencoba meyakinkan.
Tidak lama kemudian rombongan
pak yai Kholiq dengan di ikuti putranya Gus Kaffa masykurllah berjalan menuju
ndalem kyai Romli untuk megadakan khithbah secara resmi.
Setelah kejadian itu neng Izzah
tidak pernah tampak batang hidungnya, dia seperti gadis pingitan yang tidak
boleh kemana-mana.
Terahir neng Izzah mengirimkan
selembar tulisan untuk segenap sahabatnya di bagian pengurus pondok putri.
sebenarnya
Dalam garis waktuku
Aku tak ingin seorangpun tau
Tidak juga dia
Tentang aku,
cinta, dan hidupku.
0 komentar:
Posting Komentar