Istilah santri identik dengan sarung, peci atau jilbab. Istilah tersebut
telah membumi di kalangan para muslim di dunia, sehingga jika ada seseorang
yang berfashion lebih modis di anggap telah keluar dari kodratnya sebagai
muslim sejati, padahal tidak sedikit dari mereka yang berchassing modis
mempunyai tingkat intelektual yang tinggi dan lebih bermoral dibandingkan
dengan mereka yang terlihat anggun, dimana keanggunan tersebut hanya dijadikan
formalitas belaka. Sebagai seorang santri tidak harus memakai pakaian yang nglombrot
sebagai symbol dari sikap qonaah, akan tetapi dia harus berpenampilan
sewajarnya sesuai kode etik seorang muslim yang mempunyai prinsip menjaga
kerapian dan kebersihan agar eksistensinya tidah diremeh banyak orang. Sejalan
dengan sebuah pepatah ان الله جميل يحب الجمال (sesungguhnya Allah itu indah
dan Dia menyukai keindahan).
Sejalan dengan perputaran waktu yang begitu cepat, aktivitas alam yang
semakin meningkat, menimbulkan inovasi-inovasi baru yang timbul dari para cendekiawan-cendekiawan dunia yang
terobsesi dengan kemajuan- kemajuan yang tengah gencar, sehingga banyak dari
generasi muda islam terpengaruh dengah derasnya arus pergulatan budaya dan
globalisasi sehingga mereka jauh dari tatanan adab yang telah terintis dari
ulama-ulama islam dahulu. Modernisasi tidak selamanya akan mengalahkan agama
kita yang telah dinisbatkan oleh Sang Penguasa sebagai agama nomor satu dari
beberapa agama yang dinomorsatukan.
Merupakan kewajiban yang hakiki bagi santri untuk selalu menjaga serta
melestarikan prinsip dan perjuangan para ulama dengan membentengi dirinya dari
segala yang melenceng dari syariat islam.
Keterbelakangan merupakan hal yang sangat signifikan dikalangan generasi
islam. Berbagai gadget dan aplikasi- aplikasi baru yng telah marak ini, tidak
menutup kemungkinan para santri mengikuti perkembangan yang telah ada, karena
tanpa memerhatikan hal tersebut para santri akan ketinggalan dengan mereka –
mereka yang selalu mengupdate kabar- kabar terbaru. Disamping mereka ahli dalam
membaca kitab kuning (kitab gundul) dan mengaji, mereka juga selalu update
dengan informasi terkini. Terlebih dalam tradisi tulis menulis, dimana dalam
proses tulis menulis tersebut akan membantu mereka dalam pencurahan segala
pengetahuan serta ilmu yang didapat. Mereka dituntut untuk mampu menulis dengan
baik, agar dapat menuangkan gagasan dan beraktualisasi diri melalui media.
Apalagi menulis merupakan variable da’wah, selain melalui lisan dan perbuatan.
Sebuah ilmu tidak akan bertahan jika tidak diikat. Sebagaimana ahabat Ali bin
Abi thalib pernah berkata : “ilmu itu bagaikan hewan peliharaan, maka ikatlah
ia dengan tulisan”. Tradisi menulis dikalangan pesantren dan santri mulai
melemah dalam beberapa dasawarsa terakhir. Padahal sebelumnya, lingungan
keagamaan khas nusantara itu, memiliki tradisi yang kuat dalam hal menulis.
Sebaai contoh kecil, pesntren juga melahirkan banyak tokoh islam popular
melalui karya ilmiahnya. Sebut saja, di antaranya, KH. Hasyim Asyari (jombang),
KH. Bisri musthofa dan Gus Mus (Rembang),
KH. Ali Ma’shum (jogjakarta) dan lain sebagainya dari beberapa ulama islam yang
mengikat ilmunya dalam karya ilmiah.
Problem keterampilan menulis di kalangan intelektual muslim sebetulnya
sudah terasa sebagai problem akut yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Kondisi tersebut juga tidak dapat lepas dari situasi budaya. Proses kodifikasi
alquran juga beranjak dari para hamilul quran yang khawatir akan hilangnya
hafalan yang mereka punya dan ketika mereka sudah wafat tidak akan ada lagi
yang menjaga alquran sehingga pengkodifikasian tersebut sangat diprioritaskan.
Alquran ditulis dalam mushaf, begitu juga hadist-hadist nabi juga dibentuk
tulisan.
Sebagai intelektual muslim, haruslah melestarikan ilmu – ilmu terlebih ilmu
agama (Ulumuddin) dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari,
sehingga mereka tidak terkena peluru globalisasi yang akan meruntuhkan dunia
islam. Berprinsip salaf berfikir kholaf, itulah semboyan santri dalam menantang
pergulatan budaya agar tidak tertinggal dengan bangsa lain. Berfikir dinamis
untuk menuju jembatan kesuksesan tanpa melenceng dari kode etik syariah, harus
ditanam oleh para santri dalam menegakkan dan memperjuangkan agama Allah. Hal
yang perlu digaris bawahi oleh mereka adlah jangan pernah memiliki rasa takut
dalam menjalani sesuatu yang baik walaupun banyak tantangan dan ujian yang
mendera. Buktikan bahwa santri adalah penerus para pejuang islam dan
intelektual yang bisa mengalahkan dan menghancurkan segala atsar global di era
kontemporer ini.
So…..sebuah inovasi baru, ponpes darul ulum memiliki jejaring internet yang
bisa menghapus keterbelkangan para santri, terlebih santri tulen yang jauh dari
dunia luar. Apalagi lokasinya dikelilingi sebuah sungai dan rumah masa depan
(tempat pemakaman). Beruntunglah kalian bisa tholabul ilmi di ponpes darul ulum
yang menyajikan berbagai ilmu yang bisa menuntun kalian menjadi manusia
berkualitas dan berkuantitas serta meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
(redaksi)
0 komentar:
Posting Komentar